Tersesat dalam ibadah
Oleh : Pdt. Kantate Silitonga, S.Th
D
|
alam berbagai kesempatan melayani pemberitaan
firman Tuhan, di GMI dan di luar GMI, penulis menemukan bahwa ada banyak orang
kristen yang telah terbiasa mendengar doa si pengkhotbah, yang bahagian doanya
berbunyi “sembunyikan kami Tuhan di balik
salib-Mu”. Sepintas lalu, untaian kata-kata doa ini sangat enak didengar,
sejuk dan si pendoa kelihatannya seperti orang yang sangat rendah hati, dan
bersandar sepenuhnya kepada Tuhan. Namun, pernahkah Tuhan Yesus Sang Juru
selamat itu mengajari kita untuk “bersembunyi
di balik salib-Nya” atau meminta kepada-Nya agar “kita disembunyikan-Nya di balik salib-Nya”? Jawabnya jelas, tidak.
Tuhan Yesus tidak pernah mengajarkannya dan tidak ada satu ayat pun firman
Tuhan dari Kejadian 1:1 sampai Wahyu 22:21 yang mengajarkan hal yang seperti
itu, kecuali oleh para nabi palsu, rasul
palsu, dan pengajar palsu. Atau, untuk tidak menuduh sesat, bisa saja si
pengkhotbah, majelis atau jemaat yang sedang me mimpin doa meniru bahagian dari
doa si pengkhotbah lain yang pernah di dengar nya, tanpa memikirkan kebenarannya secara teologis. Kalau yang
berdoa adalah warga gereja dapat dipastikan bahwa dia berdoa seperti itu karena
ketidaktahuannya, tetapi bagaimana jika yang berdoa adalah seorang pendeta atau
pelayan yang nota bene produk dari persemaian teologi (baca: STT) yang doanya
pasti diaminkan oleh seluruh jemaatnya?
Tidak ada Kristus yang tanpa salib
Kita
percaya Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru selamat bagi kita. Sebagai Tuhan
dan Juru selamat, Dia telah meninggalkan satu teladan yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi bahwa Dia telah menderita, mati disalibkan karena dosa-dosa
kita, dan yang bangkit pada hari yang ketiga, naik ke surga dan akan datang
kembali untuk kedua kalinya menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Yesus
menjanjikan dan memberikan hidup kekal bagi setiap orang yang percaya
kepada-Nya. Selain hidup kita diberkati oleh-Nya baik dalam suka dan duka, kaya
atau miskin, sakit atau sehat, satu hal yang pasti bahwa jalan via dolorosa
atau jalan salib telah diteladankan-Nya bagi kita. Artinya, sebagai orang
kristen, kita pasti menjalani hal yang sama sebagaimana telah dijalani oleh-Nya
(I Pet.2:21). Di dunia ini, kita akan mengalami penderitaan oleh karena kebenaran
atau oleh karena nama-Nya. Yesus Kristus yang kita sembah sebagai Tuhan dan
Juru selamat adalah Tuhan dan Juru selamat yang telah sempurna memikul salib
yang diletakkan Bapa-Nya di pundak-Nya (bnd.Mark.14:36; Mat.26:39; Luk.22:42)
demi orang-orang berdosa. Kita beriman kepada Kristus yang telah mengalami
salib dan bukan kepada Kristus yang tanpa salib karena tidak ada Kristus yang
tanpa salib, dan bila ada juga orang atau pengkhotbah sehebat apapun, yang
memberitakan Kristus tetapi tanpa salib-Nya, itu bukan Kristus yang sebenarnya.
Itu bukan Injil-Nya yang sejati, tetapi injil lain. Hati-hatilah !
Orang kristen dengan salib di pundaknya
Di atas telah disebutkan bahwa
sebagai pengikut Kristus yang setia, pasti orang percaya mengalami penderitaan. Penderitaan yang dimaksudkan
adalah pende ritaan sebagai konsekwensi logis dari salib kita yang senantiasa
kita pikul dengan penuh kesetiaan. Penderitaan karena dosa atau kesalahan yang
kita perbuat tidak termasuk di dalamnya. Sebagai contoh saya beri tiga saja,
satu dari Alkitab dan dua dari realitas hidup kita. Pertama : Yudas menjual Yesus demi 30 keping uang perak,
ujungnya menyesali perbuatannya, mengembalikan uang tersebut dengan jalan melem
parkannya ke dalam bait suci dan kemudian gantung diri. Kedua: seorang sarjana kristen sedang bingung mencari kerja,
sudah beberapa kali tes CPNS tetap saja gagal. Suatu saat, ada “orang baik”
yang menjamin dia jadi PNS dengan syarat membayar sejumlah uang, dan bila tidak
berhasil uang akan kembali tanpa kurang serupiah pun. Ternyata, dia gagal dan uang
tidak kembali sama sekali, padahal uang tersebut 75 % dipinjam dari orang tua
teman kompaknya. Mengadu ke Polisi dia takut dan malu, karena dia sebenarnya berprestasi
di Universitas X almamaternya. Orang tua temannya terus mendesak agar uang
mereka segera dikembalikan, dan temannya itu tidak mau lagi berkomunikasi
dengannya. Saya sangat menderita, imbuhnya pada suatu ketika. Penderitaan yang
sedang dialaminya ini bukanlah penderitaan karena dia memikul salibnya tetapi karena
ia menyingkirkan salib dari hidupnya. Ketiga
: seorang gadis kristen terkenal, rela
kawin dengan lelaki kristen beristri dan punya anak, sanggup mengatakan bahwa laki-laki
yang kini menjadi suaminya adalah laki-laki yang takut kepada Tuhan. Keluarga
menolaknya dan terjadi insiden, dan suaminya berurusan dengan hukum karena penipuan
uang. Penderitaan yang dialami wanita kristen yang kawin dengan suami orang ini
bukan penderitaan sebagai akibat dari kesetiaan memikul salib, begitu juga
dengan suaminya yang berurusan dengan hukum, tidak dapat disebut penderitaan
karena ia memikul salibnya. Ketiga contoh di atas memperlihatkan penderitaan
dalam arti negatif yakni penderitaan yang tidak diperkenan Tuhan - tidak
memuliakan Tuhan. Penderitaan karena mereka menjadi serupa dengan dunia ini,
yakni jenis penderitaan yang banyak dialami orang kristen pada zaman ini. Berbeda
dengan yang berikut ini. Sebagai contoh saya beri dua, satu dari Alkitab dan
satu dari realitas hidup kita. Pertama
: Stefanus mati dirajam dengan batu. Sebelum ia mati sudah barang tentu ia
menderita dan ia setia sampai mati karena Kristus Tuhannya. Penderitaannya ini
sebagai konsekwensi logis dari salibnya yang dipikulnya. Kedua : seorang wanita kristen diminta untuk menanda tangani
kwitansi dengan meterai sebagai bukti bahwa kepadanya telah diserahkan oleh
pihak instansi X bantuan untuk membangun gedung di lembaga yang dipimpinnya.
Namun, saat uang diterimanya ternyata jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah yang
tertera di kwitansi alias telah disunat. Dengan cepat uang itu diletakkannya
kembali di meja si penyalur dan kemudian mengoyak kwitansi yang telah sempat
ditekennya. Selanjutnya, dalam setiap urusan dia selalu dipersulit bahkan tidak
diindahkan. Dia tetap tabah. Nah ! penderitaannya inilah yang disebut sebagai
penderitaan akibat dari kesetiaannya memikul salibnya. Dua contoh yang terakhir
inilah yang merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari realitas memikul
salib setiap hari, penderitaan dalam arti positif yakni penderitaan yang diperkenan
dan memuliakan Tuhan (I Pet.2:19-20). Penderita an jenis ini adalah penderitaan
yang langka dialami orang kristen pada zaman ini.
Jangan menjadi “kristen beo”
Saya
tidak terkejut melihat dan mendengar ada orang yang pada saat akan mengakhiri
doanya selalu mengucapkan kata “haleluya” bisa sekali saja atau bahkan sampai
tiga kali, baru disusul kemudian dengan kata “amin”. Padahal sebelumnya, orang
tersebut tidak pernah sekalipun pada saat akan mengakhiri doanya mengucap kan
kata “haleluya” selain kata “amin”. Saya tidak bermaksud mengatakan ini salah.
Meniru yang baik dan benar tentu tidak salah, tetapi meniru yang salah dan
sudah pasti tidak benar, tentu sangat merugikan diri sendiri dan orang banyak.
Coba anda bayangkan ! orang kristen seperti apa yang akan dihasilkan oleh
doa “Tuhan
sembu nyikan kami di balik salib-Mu”. Doa ini sudah pasti diakhiri dengan
kata “amin”. Tuhan tidak pernah meminta kita untuk bersembunyi di balik
salib-Nya, untuk tiarap atau tengkurap di balik salib-Nya. Dia juga tidak
pernah meminta kita untuk memikul salib-Nya selain dari pada salib kita
sendiri. Salib telah menjadi identitas bagi kita. Karena itu, tidak mungkin
bagi kita untuk menjadi pengikut Kristus tanpa memikul salib kita. Ingatlah
bahwa urutannya begitu jelas dan tegas : “setiap
orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan
mengikut Aku, kata Tuhan Yesus” (Mark.8:34; Mat.16:24; Luk.9:23).
Cintailah Tuhan dan firman-Nya
Saat
ibadah berlangsung, baik di dalam gedung gereja, graha, hall, hotel, lapangan
terbuka, tidak sulit mencari orang yang beriman. Namun akan sulit mencari dan
menemukan orang-orang yang beriman tadi tetap setia kepada imannya di dalam
pergulatan hidup sehari-hari. Seandainya seorang Briptu Norman Kamaru adalah
seorang kristen, diminta untuk berkhotbah, dan berita ini disebarluaskan dalam
1 hari, maka dapat dipastikan akan banyak orang kristen datang untuk
mendengarkan khotbahnya dibandingkan dengan seorang Bishop GMI berkhotbah
dengan pemberita huan kepada umat 1 bulan penuh. Atau seperti tren belakangan
ini, beberapa artis kristen yang sekaligus juga sebagai pendeta (hebat ya!),
dengan bermodalkan peng akuan telah bertobat / lahir baru, hafal beberapa ayat tertentu
dari firman Tuhan, piawai berbicara, suasana ruangan ibadah yang wah dan
peralatan musik yang serba lengkap, liputan media plus kepopulerannya, maka
dapat dipastikan banyak orang kristen datang mendengarkan khotbahnya plus
kesaksian hidupnya yang penuh poles an untuk tidak mengatakan penuh kepalsuan.
Bak penyanyi artis di TV yang mampu
membuat para pendengarnya ikut bergoyang, bernyanyi bahkan melompat-lompat,
menangis, bertepuk tangan, menjerit histeris dan mendesis-desis bak kepedasan
dan kedinginan, begitulah kenyataan beberapa ibadah kristen yang digelar tanpa
dogma atau ajaran yang Alkitabiah. Tidak sedikit orang kristen, tua dan muda
yang telah terperangkap ke dalam pengkultusan terhadap si pengkhotbah.
Kelihatannya beriman tetapi sesungguhnya rapuh dan mudah roboh karena bukan
mengidolakan Tuhan dan firman-Nya, tetapi mengidolakan si pengkhotbah. Akhirnya,
cintailah Tuhan dan firman-Nya. Horas !
haleluya, terima kasih atas pencerahannya yang luar biasa tentang keimanan Kristen, saya makin ditambahkan pengetahuan yang baru mengenai iman saya kepada Yesus Kristus Tuhan kita melalui artikel ini, semoga banyak juga yang membacanya mendapat manfaat dari artikel ini. Kiranya Tuhan Yesus Kristus senantiasa memberkati Bapak Pendeta Silitonga Tona dan keluarga dalam setiap pelayanan dan usaha nya. Terpujlah nama NYA.
BalasHapus