MUNGKINKAH ROH KUDUS DAPAT
TERBELENGGU?
(suatu
upaya mengkritisi liturgi ibadah minggu gereja kita)
Oleh : Pdt. Kantate Silitonga, S.Th
T
|
idak dapat dipungkiri bahwa ibadah gereja-gereja
mainstream (termasuk GMI), oleh gereja Pentakosta dan Karismatik dituduh tidak
memiliki roh, kaku dan monoton, dan pada ujung nya membelenggu Roh Kudus. Menurut
mereka, dalam ibadah gereja-gereja main stream (HKBP, GKPS, GMI, dll), Roh
Kudus tidak memperoleh tempat karena liturgi iba dah yang ada cenderung tidak
memberi ruang ge rak bagi Roh Kudus. Namun, benarkah Roh Kudus dapat
terbelenggu oleh liturgi ibadah yang baku dan monoton? Atau, dapatkah liturgi
ibadah yang menjadi baku buatan manusia tadi membelenggu Roh Kudus? Untuk meres
pon tuduhan ini, maka gereja-gereja mainstream (termasuk GMI) berbenah
diri-menata liturgi ibadah yang “apik”, lebih “hidup” dan sesuai dengan selera
“pasar”. Berbagai cara dilakukan : memo difikasi tata ibadah yang ada, meleng kapi
alat musik termasuk drum, tembo rin, song leader, menyanyikan lagu-lagu pendek
secara berulang-ulang (lagu-lagu Methodist yang sangat bermutu tinggi dan teologis
digudangkan), angkat tangan sambil dilambai-lambaikan, ber tepuk tangan buat
Tuhan, salam kiri–kanan-depan belakang dan senyum, berdoa serta mengangkat tangan,
sampai peragaan tarian-tarian di altar dan suasana ibadah yang lebih bebas. Selanjutnya, benarkah Roh Kudus
kini telah memperoleh ruang pas sehingga mau berkarya secara leluasa dalam
liturgi ibadah yang telah dimodifikasi tadi? Atau justru, selera dan keinginan
pengunjung ibadahlah sebenar nya yang diakomodir dengan pas sesuai dengan
tuntutan zaman ini?
Bukan Roh Kudus namanya kalau dapat terbelenggu
Ibadah
yang dilangsungkan oleh gereja didasarkan pada iman kepada Allah Tritunggal
(Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus). Ajaran tentang Allah Tritunggal merupakan
inti dari iman kita, akar dari semua ajaran dan seluruh aktivitas bergereja. Dari
dogma Allah Tritunggal inilah semua dogma lain berasal dan memperoleh maknanya.
Tanpa iman kepada Allah Tritunggal, ibadah dan penyembahan orang percaya hampa,
tidak bermakna, dan kehilangan pengharapan. Allah Tritunggal tidak terikat atau
dibatasi oleh ruang dan waktu. Itu artinya, kalau ada orang yang berkata bahwa
Roh Kudus terbelenggu dalam suasana liturgi ibadah yang baku dan monoton, maka
Roh Kudus yang dikatakannya itu bukanlah Roh Kudus yang sebenarnya. Sebab Roh
Kudus tidak dapat terbelenggu atau dibelenggu oleh apapun (bnd.Yoh.3:8). Kalau
Roh Kudus dapat terbelenggu atau dibelenggu, maka Roh Kudus dapat dikuasai dan
diatur oleh manusia. Di sini, buatan manusia dapat membatasi ruang gerak Roh
Kudus bahkan membelenggunya. Menyesatkan bukan? Naiflah orang yang menuduh dalam
liturgi ibadah yang baku dan monoton Roh Kudus terbelenggu. Hati-hatilah ! Itu bukan
Roh Kudus. Roh Kudus adalah Allah itu sendiri, jadi tidak mungkin bisa
terbelenggu atau dibelenggu oleh apapun.
Liturgi ibadah gereja kita sangat berbobot
Sebenarnya,
liturgi ibadah model I-IV yang terdapat dalam buku nyanyian yang diterbitkan
oleh Badan PI & Pembinaan GMI periode 1997-2001 dan Buku Ibadah GMI periode
1985-1989 sangatlah berbobot. Namun, cara kita memperguna kannya membuat
liturgi ibadah itu menjadi kaku, kehilangan makna dan membosan kan. Misalnya,
unsur doa pengakuan. Doa pengakuan yang dicantumkan di situ sama sekali tidak
dimaksudkan untuk dibacakan dari minggu ke minggu. Akibatnya, hanya rumusan doa
itu saja yang dibacakan setiap minggu, doa itu menjadi membosankan. Rumusan
yang ada ini sebenarnya sekedar contoh saja. Karena itu, dapat disusun doa
pengakuan yang menjawab kebutuhan khusus dari jemaat sesuai dengan pengalaman mereka.
Begitu pula, menyangkut nyanyian yang dicantumkan dalam liturgi ibadah,
cenderung sama dari minggu ke minggu. Padahal, apa salahnya jika nyanyian-nya nyian
itu sewaktu-waktu diubah sesuai dengan kondisi sosial dalam jemaat? Alangkah
baiknya jika nyanyian-nyanyian berbobot dari buku-buku nyanyian misalnya kidung
jemaat, juga dimanfaatkan dalam ibadah jemaat. Dengan kata lain, kita
memanfaatkan liturgi model satu sampai empat secara kreatif dan inovatif. Ingatlah,
tata cara pelaksanaan ibadah dan semua unsur yang terkandung di dalamnya bukan
harga mati. Tetapi, hanya ada satu hal
yang merupakan harga mati dalam gereja yakni Injil, sedangkan cara kita
menjawab Injil itu selalu harus diperbarui terus-menerus. Bukan status quo. Di sisi lain, ada
beberapa hal yang perlu kita pikirkan (think
and let think) secara kreatif terhadap liturgi ibadah gereja kita : Pertama : dalam hal pemakaian
tata bahasa yang benar. Dalam liturgi ibadah kita, baik dalam doa pengakuan,
doa Bapa kami, dan pengakuan iman rasuli, masih dipakai kata “sorga”, misalnya,
Bapa kami yang di sorga, seharusnya Bapa kami yang di surga. Begitu juga dalam
nyanyian masih banyak memakai kata “sorga”. Yang benar adalah “surga” karena
yang dimaksud dengan “sorga” itu tidak ada. Kedua
: masalah penyebutan Allah Tritunggal secara khusus dalam liturgi ibadah bahasa
Indonesia. Gloria Patri (Mulia bagi Bapa, bagi Anak serta Rohulkudus, dari
permulaannya, s’karang dan akan jadi, selama-lamanya. Amen), dan Doxologi
(Kepada Allah b’ri puji serta kepada Almaseh Rohulkudus muliakan berkuasa dan
berkasihan. Amen). Roh Kudus dinyanyikan dengan Rohulkudus, ini salah. Yang
benar adalah Roh Kudus. Tentang sebutan Anak diganti dengan Almaseh (bahasa
Arab untuk Mesias yang diurapi yakni Isa, Yesus Kristus) tidak jadi masalah,
karena tidak merubah arti. Ketiga
: liturgi ibadah harus mengakomodir kenyataan bahwa semua orang percaya
sebagaimana dikatakan oleh rasul Paulus memiliki karunia rohani. Kata “ibadah” berasal
dari kata Ibrani abodah, dari akar
kata ebed (abdi) yang dalam bahasa
Yunani disebut liturgia, yakni
pelayanan bangsa. Jadi, abodah dan liturgia harus menjadi kesempatan di
mana semua pihak yang hadir dapat berperan sebagai abdi yang menunjukkan
pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Allah memperlengkapi setiap orang percaya
dengan karu nia yang berbeda-beda demi pelayanan dan pembangunan persekutuan (I
Kor.12). Karena itu, dalam pelayanan tidak ada kaum awam, tidak ada anggota
yang pasif. Namun dalam kenyataannya, ternyata tidak tersedia cukup tempat bagi
karunia-karu nia itu, sehingga ibadah sering kali menjadi sangat kaku dan monoton.
Korelasi liturgi ibadah dengan disiplin gereja
Dipimpin
oleh Roh Kudus bukan berarti anti kepada aturan atau tidak lagi memerlukan
aturan. Terdapat suatu pemahaman yang sangat menyimpang dalam bebe rapa
pemikiran orang percaya bahwa orang yang dipimpin oleh Roh Kudus tidak lagi
perlu untuk patuh kepada aturan (baca: Disiplin gereja). Namun, benarkah
pemaham an tersebut? Patut untuk dicamkan, satu hal menonjol tentang buah
pekerjaan Roh Kudus yaitu keteraturan,
ketertiban, dan keindahan. Di mana saja kalau Roh Allah bekerja, akan
tercipta tiga hal tadi : keteraturan,
ketertiban, dan keindahan (I Kor.14 khususnya ayat 33 dan 40). Roh Kudus
adalah Roh yang bekerja secara sopan dan teratur. Jadi, kalau ada orang yang
mengaku bahwa ia telah mendapat pengurapan Roh Kudus, tetapi tidak
memperlihatkan nilai-nilai tadi dalam hidup, pergaulan dan karyanya, berhati-hatilah
terhadap orang itu. Roh yang ada padanya pasti bukan roh dari Allah, melainkan
roh dari penguasa gelap. Lalu apa kata disiplin gereja kita terkait dengan
penyelenggaraan ibadah? Pertama
: adanya panitia kebaktian (Disiplin GMI 1997 pasal 36 halaman 53). Sebenarnya
lebih tepat disebut panitia ibadah dari pada panitia kebaktian. Panitia ini
terdiri dari : Ketua, guru Injil, pendeta, lay leader, lay speaker, pimpinan
koor dan ditambah beberapa anggota sebanyak yang diperlu kan. Atas bimbingan guru
Injil atau pendeta, panitia ini bertugas : mempersiapkan acara ibadah yang
baik, membina warga jemaat mengenal acara ibadah yang baik, mengusahakan
pemakaian alat musik dan nyanyian yang baik waktu ibadah, mengem bangkan koor
atau paduan suara gereja, dan mempersiapkan alat-alat ibadah dan men jaga
kebersihan gereja serta ketertiban ibadah. Sebenarnya, tidak akan mungkin lagi
terjadi ibadah yang kaku dan monoton jika panitia ibadah benar-benar
menjalankan fungsinya. Artinya, segala sesuatu sudah dalam keadaan beres tidak
ada lagi yang kurang yang dapat mengganggu jalannya ibadah, sehingga
pemberitaan firman Tuhan yang menjadi tanggung jawab penuh gembala sidang dapat
berjalan dengan baik. Jadi, panitia ini
tidak mengurusi masalah mimbar yakni pengkhotbah karena hal ini bukan merupakan
domain panitia ini. Bagi majelis yang paham dan hidupnya dipim pin oleh Roh
Kudus pasti mematuhi hal ini. Artinya, tidak mengurusi sesuatu yang tidak
menjadi tugas atau fungsinya (tupoksinya).
Kedua : kuasa pemakaian mimbar
gereja (Disiplin GMI 1997 pasal 60 halaman 69). Tentang tugas-tugas pendeta,
secara khusus ayat 1,10,11,12 dan 20. Pimpinan
jemaat setempat sajalah yang berhak atas pemakaian mimbar termasuk yang berhak
memberikan izin atau tidak atas pemakaian mimbar di gereja yang dilayaninya.
Bila pendeta atau gembala sidang sudah tidak berkuasa lagi atas mimbar
di gereja yang dilayaninya, maka sebenarnya dia tidak layak lagi disebut
sebagai gembala sidang. Gembala sidang dalam mengundang peng khotbah
tamu, paling tidak haruslah mempertimbangkan; latar belakang si pengkhot bah (bukan orang yang baru bertobat), dan teologi
yang diyakininya. Horas!
Daftar Bacaan
Abineno, J.L.Ch. Sekitar Theologia Praktika 1, Jakarta: BPK GM,1968.
Abineno, J.L.Ch. Karunia-Karunia Roh
Kudus : Percakapan Dengan Gerakan
Kharismatik, Jakarta: BPK GM,1980.
Baker, David L. Roh Dan Kerohanian
Dalam Jemaat: Tafsiran Surat 1 Korintus 12-
14, Jakarta BPK GM, 1996.
Becker, Dieter. Pedoman Dogmatika:
Suatu Kompendium Singkat, Jakarta: BPK GM,
1996.
Departemen PI Dan Pembinaan GMI Periode 1985-1989. Buku Ibadah GMI, Medan
1987.
Departemen PI Dan Pembinaan GMI Periode 1997-2001. Nyanyian Rohani GMI, Medan, 2001.
Panitia Disiplin GMI 1997-2001. Disiplin
GMI 1997, Medan 1999.
Pfitzner, V.C.Kesatuan dalam Kepelbagaian
: Ulasan atas 1 Korintus, Jakarta: BPK GM, 2010.