Rabu, 24 Juli 2013



MUNGKINKAH ROH KUDUS DAPAT TERBELENGGU?
 (suatu upaya mengkritisi liturgi ibadah minggu gereja kita)
Oleh : Pdt. Kantate Silitonga, S.Th
           

T
idak dapat dipungkiri bahwa ibadah gereja-gereja mainstream (termasuk GMI), oleh gereja Pentakosta dan Karismatik dituduh tidak memiliki roh, kaku dan monoton, dan pada ujung nya membelenggu Roh Kudus. Menurut mereka, dalam ibadah gereja-gereja main stream (HKBP, GKPS, GMI, dll), Roh Kudus tidak memperoleh tempat karena liturgi iba dah yang ada cenderung tidak memberi ruang ge rak bagi Roh Kudus. Namun, benarkah Roh Kudus dapat terbelenggu oleh liturgi ibadah yang baku dan monoton? Atau, dapatkah liturgi ibadah yang menjadi baku buatan manusia tadi membelenggu Roh Kudus? Untuk meres pon tuduhan ini, maka gereja-gereja mainstream (termasuk GMI) berbenah diri-menata liturgi ibadah yang “apik”, lebih “hidup” dan sesuai dengan selera “pasar”. Berbagai cara dilakukan : memo difikasi tata ibadah yang ada, meleng kapi alat musik termasuk drum, tembo rin, song leader, menyanyikan lagu-lagu pendek secara berulang-ulang (lagu-lagu Methodist yang sangat bermutu tinggi dan teologis digudangkan), angkat tangan sambil dilambai-lambaikan, ber tepuk tangan buat Tuhan, salam kiri–kanan-depan belakang dan senyum, berdoa serta mengangkat tangan, sampai peragaan tarian-tarian di altar dan suasana ibadah yang  lebih bebas. Selanjutnya, benarkah Roh Kudus kini telah memperoleh ruang pas sehingga mau berkarya secara leluasa dalam liturgi ibadah yang telah dimodifikasi tadi? Atau justru, selera dan keinginan pengunjung ibadahlah sebenar nya yang diakomodir dengan pas sesuai dengan tuntutan zaman ini?

Bukan Roh Kudus namanya kalau dapat terbelenggu
            Ibadah yang dilangsungkan oleh gereja didasarkan pada iman kepada Allah Tritunggal (Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus). Ajaran tentang Allah Tritunggal merupakan inti dari iman kita, akar dari semua ajaran dan seluruh aktivitas bergereja. Dari dogma Allah Tritunggal inilah semua dogma lain berasal dan memperoleh maknanya. Tanpa iman kepada Allah Tritunggal, ibadah dan penyembahan orang percaya hampa, tidak bermakna, dan kehilangan pengharapan. Allah Tritunggal tidak terikat atau dibatasi oleh ruang dan waktu. Itu artinya, kalau ada orang yang berkata bahwa Roh Kudus terbelenggu dalam suasana liturgi ibadah yang baku dan monoton, maka Roh Kudus yang dikatakannya itu bukanlah Roh Kudus yang sebenarnya. Sebab Roh Kudus tidak dapat terbelenggu atau dibelenggu oleh apapun (bnd.Yoh.3:8). Kalau Roh Kudus dapat terbelenggu atau dibelenggu, maka Roh Kudus dapat dikuasai dan diatur oleh manusia. Di sini, buatan manusia dapat membatasi ruang gerak Roh Kudus bahkan membelenggunya. Menyesatkan bukan? Naiflah orang yang menuduh dalam liturgi ibadah yang baku dan monoton Roh Kudus terbelenggu. Hati-hatilah ! Itu bukan Roh Kudus. Roh Kudus adalah Allah itu sendiri, jadi tidak mungkin bisa terbelenggu atau dibelenggu oleh apapun.
Liturgi ibadah gereja kita sangat berbobot
            Sebenarnya, liturgi ibadah model I-IV yang terdapat dalam buku nyanyian yang diterbitkan oleh Badan PI & Pembinaan GMI periode 1997-2001 dan Buku Ibadah GMI periode 1985-1989 sangatlah berbobot. Namun, cara kita memperguna kannya membuat liturgi ibadah itu menjadi kaku, kehilangan makna dan membosan kan. Misalnya, unsur doa pengakuan. Doa pengakuan yang dicantumkan di situ sama sekali tidak dimaksudkan untuk dibacakan dari minggu ke minggu. Akibatnya, hanya rumusan doa itu saja yang dibacakan setiap minggu, doa itu menjadi membosankan. Rumusan yang ada ini sebenarnya sekedar contoh saja. Karena itu, dapat disusun doa pengakuan yang menjawab kebutuhan khusus dari jemaat sesuai dengan pengalaman mereka. Begitu pula, menyangkut nyanyian yang dicantumkan dalam liturgi ibadah, cenderung sama dari minggu ke minggu. Padahal, apa salahnya jika nyanyian-nya nyian itu sewaktu-waktu diubah sesuai dengan kondisi sosial dalam jemaat? Alangkah baiknya jika nyanyian-nyanyian berbobot dari buku-buku nyanyian misalnya kidung jemaat, juga dimanfaatkan dalam ibadah jemaat. Dengan kata lain, kita memanfaatkan liturgi model satu sampai empat secara kreatif dan inovatif. Ingatlah, tata cara pelaksanaan ibadah dan semua unsur yang terkandung di dalamnya bukan harga mati. Tetapi, hanya ada satu hal yang merupakan harga mati dalam gereja yakni Injil, sedangkan cara kita menjawab Injil itu selalu harus diperbarui terus-menerus. Bukan status quo. Di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu kita pikirkan (think and let think) secara kreatif terhadap liturgi ibadah gereja kita : Pertama : dalam hal pemakaian tata bahasa yang benar. Dalam liturgi ibadah kita, baik dalam doa pengakuan, doa Bapa kami, dan pengakuan iman rasuli, masih dipakai kata “sorga”, misalnya, Bapa kami yang di sorga, seharusnya Bapa kami yang di surga. Begitu juga dalam nyanyian masih banyak memakai kata “sorga”. Yang benar adalah “surga” karena yang dimaksud dengan “sorga” itu tidak ada. Kedua : masalah penyebutan Allah Tritunggal secara khusus dalam liturgi ibadah bahasa Indonesia. Gloria Patri (Mulia bagi Bapa, bagi Anak serta Rohulkudus, dari permulaannya, s’karang dan akan jadi, selama-lamanya. Amen), dan Doxologi (Kepada Allah b’ri puji serta kepada Almaseh Rohulkudus muliakan berkuasa dan berkasihan. Amen). Roh Kudus dinyanyikan dengan Rohulkudus, ini salah. Yang benar adalah Roh Kudus. Tentang sebutan Anak diganti dengan Almaseh (bahasa Arab untuk Mesias yang diurapi yakni Isa, Yesus Kristus) tidak jadi masalah, karena tidak merubah arti. Ketiga : liturgi ibadah harus mengakomodir kenyataan bahwa semua orang percaya sebagaimana dikatakan oleh rasul Paulus memiliki karunia rohani. Kata “ibadah” berasal dari kata Ibrani abodah, dari akar kata ebed (abdi) yang dalam bahasa Yunani disebut liturgia, yakni pelayanan bangsa. Jadi, abodah dan liturgia harus menjadi kesempatan di mana semua pihak yang hadir dapat berperan sebagai abdi yang menunjukkan pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Allah memperlengkapi setiap orang percaya dengan karu nia yang berbeda-beda demi pelayanan dan pembangunan persekutuan (I Kor.12). Karena itu, dalam pelayanan tidak ada kaum awam, tidak ada anggota yang pasif. Namun dalam kenyataannya, ternyata tidak tersedia cukup tempat bagi karunia-karu nia itu, sehingga ibadah sering kali menjadi sangat kaku dan monoton.
Korelasi liturgi ibadah dengan disiplin gereja
            Dipimpin oleh Roh Kudus bukan berarti anti kepada aturan atau tidak lagi memerlukan aturan. Terdapat suatu pemahaman yang sangat menyimpang dalam bebe rapa pemikiran orang percaya bahwa orang yang dipimpin oleh Roh Kudus tidak lagi perlu untuk patuh kepada aturan (baca: Disiplin gereja). Namun, benarkah pemaham an tersebut? Patut untuk dicamkan, satu hal menonjol tentang buah pekerjaan Roh Kudus yaitu keteraturan, ketertiban, dan keindahan. Di mana saja kalau Roh Allah bekerja, akan tercipta tiga hal tadi : keteraturan, ketertiban, dan keindahan (I Kor.14 khususnya ayat 33 dan 40). Roh Kudus adalah Roh yang bekerja secara sopan dan teratur. Jadi, kalau ada orang yang mengaku bahwa ia telah mendapat pengurapan Roh Kudus, tetapi tidak memperlihatkan nilai-nilai tadi dalam hidup, pergaulan dan karyanya, berhati-hatilah terhadap orang itu. Roh yang ada padanya pasti bukan roh dari Allah, melainkan roh dari penguasa gelap. Lalu apa kata disiplin gereja kita terkait dengan penyelenggaraan ibadah? Pertama : adanya panitia kebaktian (Disiplin GMI 1997 pasal 36 halaman 53). Sebenarnya lebih tepat disebut panitia ibadah dari pada panitia kebaktian. Panitia ini terdiri dari : Ketua, guru Injil, pendeta, lay leader, lay speaker, pimpinan koor dan ditambah beberapa anggota sebanyak yang diperlu kan. Atas bimbingan guru Injil atau pendeta, panitia ini bertugas : mempersiapkan acara ibadah yang baik, membina warga jemaat mengenal acara ibadah yang baik, mengusahakan pemakaian alat musik dan nyanyian yang baik waktu ibadah, mengem bangkan koor atau paduan suara gereja, dan mempersiapkan alat-alat ibadah dan men jaga kebersihan gereja serta ketertiban ibadah. Sebenarnya, tidak akan mungkin lagi terjadi ibadah yang kaku dan monoton jika panitia ibadah benar-benar menjalankan fungsinya. Artinya, segala sesuatu sudah dalam keadaan beres tidak ada lagi yang kurang yang dapat mengganggu jalannya ibadah, sehingga pemberitaan firman Tuhan yang menjadi tanggung jawab penuh gembala sidang dapat berjalan dengan baik. Jadi, panitia ini tidak mengurusi masalah mimbar yakni pengkhotbah karena hal ini bukan merupakan domain panitia ini. Bagi majelis yang paham dan hidupnya dipim pin oleh Roh Kudus pasti mematuhi hal ini. Artinya, tidak mengurusi sesuatu yang tidak menjadi tugas atau fungsinya (tupoksinya). Kedua : kuasa pemakaian mimbar gereja (Disiplin GMI 1997 pasal 60 halaman 69). Tentang tugas-tugas pendeta, secara khusus ayat 1,10,11,12 dan 20. Pimpinan jemaat setempat sajalah yang berhak atas pemakaian mimbar termasuk yang berhak memberikan izin atau tidak atas pemakaian mimbar di gereja yang dilayaninya. Bila pendeta atau gembala sidang sudah tidak berkuasa lagi atas mimbar di gereja yang dilayaninya, maka sebenarnya dia tidak layak lagi disebut sebagai gembala sidang. Gembala sidang dalam mengundang peng khotbah tamu, paling tidak haruslah mempertimbangkan; latar belakang si pengkhot bah (bukan orang yang baru bertobat), dan teologi yang diyakininya. Horas!
Daftar Bacaan
Abineno, J.L.Ch. Sekitar Theologia Praktika 1, Jakarta: BPK GM,1968.
Abineno, J.L.Ch. Karunia-Karunia Roh Kudus : Percakapan Dengan Gerakan
Kharismatik, Jakarta: BPK GM,1980.
Baker, David L. Roh Dan Kerohanian Dalam Jemaat: Tafsiran Surat 1 Korintus 12-
14, Jakarta BPK GM, 1996.
Becker, Dieter. Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, Jakarta: BPK GM,
1996.
Departemen PI Dan Pembinaan GMI Periode 1985-1989. Buku Ibadah GMI, Medan
1987.
Departemen PI Dan Pembinaan GMI Periode 1997-2001. Nyanyian Rohani GMI, Medan, 2001.
Panitia Disiplin GMI 1997-2001. Disiplin GMI 1997, Medan 1999.
Pfitzner, V.C.Kesatuan dalam Kepelbagaian : Ulasan atas 1 Korintus, Jakarta: BPK GM, 2010.